Tambang Dekat Destinasi Wisata – Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali mengingatkan publik akan bahaya serius yang mengancam industri pariwisata nasional: pertambangan di sekitar destinasi wisata. Dalam pernyataannya yang tegas dan bernuansa peringatan, ia menyoroti fakta mencengangkan bahwa kegiatan pertambangan yang rakus dan tidak terkontrol mulai merambah ke kawasan-kawasan yang sejatinya di lindungi sebagai kawasan wisata alam dan budaya.
“Ini bukan soal menolak pembangunan atau investasi. Tapi ini soal menyelamatkan warisan alam dan budaya kita dari keserakahan industri tambang yang tak tahu batas!” demikian tegas LaNyalla dalam pidatonya. Pernyataan ini muncul setelah maraknya laporan dari berbagai daerah yang menunjukkan konflik antara industri ekstraktif dan sektor pariwisata yang terus bertumbuh.
Benturan Kepentingan: Tambang vs Pariwisata
Konflik antara tambang dan pariwisata bukan lagi cerita baru. Namun yang mengerikan, fenomena ini terus berulang tanpa ada regulasi tegas yang benar-benar membela kepentingan jangka panjang masyarakat. Bagaimana mungkin tambang yang merusak hutan, mencemari sungai, dan mengubah bentang alam di perbolehkan berdampingan dengan destinasi wisata yang menjual keindahan, ketenangan, dan kelestarian alam?
Contoh paling mencolok bisa di lihat di kawasan Kalimantan Timur, di mana keindahan Bukit Bangkirai terancam oleh aktivitas tambang batubara. Begitu pula di Sulawesi Utara, Taman Nasional Bunaken yang di kenal dunia sebagai surga penyelaman, kini di kepung izin pertambangan emas. Ironis dan menyakitkan.
Kerusakan Tak Terelakkan: Pariwisata Menggigil
Kehadiran tambang di dekat kawasan wisata bukan hanya mengganggu secara visual. Dampaknya nyata dan brutal. Jalan-jalan wisata yang biasanya di lalui turis kini di lintasi truk-truk besar pembawa hasil tambang. Udara yang semula segar berubah menjadi sarat debu dan polusi. Sumber air bersih tercemar oleh limbah industri. Flora-fauna endemik terganggu atau bahkan punah. Semua ini berujung pada satu kata: kehancuran.
Apa yang terjadi selanjutnya? Wisatawan enggan datang. Investor menarik diri. Masyarakat lokal kehilangan pendapatan. Dan yang paling tragis: ekosistem rusak tak bisa di kembalikan. Apa artinya keuntungan tambang miliaran jika harus di bayar dengan punahnya daya tarik wisata yang seharusnya bisa di wariskan lintas generasi?
Baca juga: https://beacukai-nangabadau.com/
Menyerukan Regulasi Tegas dan Perlindungan Permanen
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah mengakhiri politik abu-abu terhadap izin tambang. Tidak bisa lagi ada kompromi di kawasan wisata strategis. Harus ada pemetaan ulang, pelarangan eksplisit, dan zona eksklusif pariwisata yang bebas dari aktivitas ekstraktif.
Ketua DPD RI menegaskan perlunya payung hukum yang tegas, tidak bisa hanya sekadar imbauan moral. Undang-undang harus jelas: kawasan wisata harus steril dari tambang. Jika perlu, kawasan ini di jadikan zona konservasi dengan perlindungan penuh dari negara. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan kehancuran bertahap yang berujung pada penyesalan.
Bangun Pariwisata, Bukan Porakporandakannya
Indonesia punya kekayaan alam yang luar biasa. Dari Raja Ampat hingga Danau Toba, dari Labuan Bajo hingga Bali, semuanya memiliki daya tarik mendunia. Tapi semua itu tak ada artinya jika kita sendiri merusaknya demi kepentingan sesaat. Jangan biarkan industri tambang mencaplok dan mengoyak apa yang seharusnya kita jaga.
Sudah waktunya masyarakat bersuara lantang. Sudah waktunya pemimpin mengambil sikap berani. Tambang di sekitar destinasi wisata bukan hanya tidak pantas—ia adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.