Temui Dedi Mulyadi – Gunung Kuda yang sebelumnya hanya dikenal sebagai bentangan hijau nan tenang di Kabupaten Subang, kini berubah menjadi saksi bisu tragedi memilukan. Longsor hebat yang terjadi beberapa hari lalu menelan puluhan rumah dan menghancurkan harapan banyak keluarga. Tangis dan jerit pilu terdengar dari sudut-sudut pengungsian, ketika satu per satu korban di temukan, sebagian selamat, sebagian tak bernyawa.
Di tengah suasana duka yang masih menyelimuti lokasi bencana, hadir sosok yang tak asing bagi masyarakat Jawa Barat: Dedi Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta ini datang bukan sekadar melihat, tapi menyelami langsung luka yang sedang menganga di tengah masyarakat. Ia tidak datang dengan konvoi atau rombongan besar. Ia datang dengan langkah sederhana, menyusuri tanah becek dan reruntuhan sambil menyapa warga yang kehilangan.
Dedi Mulyadi dan Luka Kemanusiaan
Saat Dedi tiba di tenda pengungsian utama, tangis keluarga korban pecah seketika. Seorang ibu tua langsung memeluknya, memohon bantuan untuk mencari anaknya yang masih tertimbun. Anak itu baru berusia 7 tahun. “Pak Dedi, tolong, anak saya belum di temukan…” Suaranya lirih, namun penuh luka. Dedi tidak hanya mendengar. Ia berlutut, memegang tangan si ibu, dan berjanji akan membantu semaksimal mungkin.
Tangis keluarga korban longsor Gunung Kuda tak hanya tangisan kehilangan. Itu adalah jeritan dari rasa putus asa terhadap sistem yang lamban. Dedi Mulyadi dalam momen itu tidak hanya menjadi pejabat atau tokoh politik. Ia menjadi manusia yang hadir di tengah manusia lain yang menderita.
Janji dan Teguran Pedas
Dalam pernyataannya kepada media, Dedi menyampaikan keprihatinan mendalam atas lambannya penanganan bencana. Ia menuding bahwa banyak pihak terlalu sibuk berpolitik sementara rakyat menjerit. “Kita ini terlalu banyak rapat, terlalu banyak bicara. Tapi ketika rakyat di timpa bencana, semua mendadak hilang,” ucapnya dengan nada tinggi. Pernyataannya menyentak. Ia bahkan menyebut beberapa pejabat daerah tidak berada di lokasi sejak hari pertama longsor terjadi.
Tak berhenti di sana, Dedi juga meminta pertanggungjawaban atas kelalaian tata ruang yang bisa memicu longsor seperti ini. Ia menyebut pembangunan liar di lereng gunung sebagai bom waktu. “Kalau izin bangunan di berikan sembarangan, ya ini akibatnya. Kita tidak hanya bicara kerugian materi, tapi nyawa manusia!” katanya tegas.
Baca juga: https://beacukai-nangabadau.com/
Lebih dari Sekadar Kunjungan
Kehadiran Dedi Mulyadi di Gunung Kuda bukan sekadar pencitraan. Ia menyumbangkan logistik, membawa tim relawan, dan ikut menyusun strategi pencarian korban bersama tim SAR. Ia menunjukkan bahwa seorang tokoh bisa tetap membumi, menyatu dengan rakyat, dan bersuara lantang ketika keadilan dan kemanusiaan di injak-injak.
Tangis yang pecah saat Dedi datang bukan semata karena duka. Tapi karena mereka merasa, akhirnya ada yang datang bukan untuk berpidato, tapi untuk mendengar, membantu, dan bertindak. Gunung Kuda menyimpan luka, tapi juga menjadi panggung nyata bagi siapa yang benar-benar peduli pada penderitaan rakyat.